8.Tanya : Sdr. Ahli , anda mengatakan kasus posisi dari kondisi di jalan Lerahinga Lembata ini adalah cacat materiil dan cacat formal , malah sdr mengatakan bahwa Psl 86 ayat(1) “penyelesaian sengketa atau tindakan hukum terhadap para Pihak tidak boleh menghentikan Penyelenggaraan Pekerjaan jasa konstruksi ” karena melanggar UU No . 2/2017 tentang Jasa konstruksi , bisa anda perjelas apa maksud pasal ini ?
Jawab : karena perjanjian kontrak kerja konstruksi bersifat perdata , maka sengketa antara Para Pihak , ( tentunya yang dimaksud adalah sengketa perdata terkait wanprestasi ) tidak boleh menghentikan Penyelenggaraan Jasa konstruksi , karena tujuan dari dibangunnya suatu pekerjaan jasa Konstruksi menganut asas Manfaat. Yang kalau pekerjaan dihentikan maka kemanfaatan pekerjaan menjadi tidak tercapai dan umur rencana konstruksi juga tidak tercapai . Kondisi ini justru berpotensi membuat negara menjadi rugi . Sehingga pasal 86 UU No.2/2017 tentang Jasa konstruksi memang dibuat untuk menjamin kemanfaatan pekerjaan bisa tercapai .
9.Tanya : jika demikian apa pendapat saudara jika pekerjaan dihentikan oleh pihak penyidik pada masa kontraktual dan masih dalam masa pertanggungan ?
Jawab : Artinya penyidik melanggar UU No . 2/2027 pasal 86 ayat(1) karena menghentikan pekerjaan dan mengakibatkan jalan menjadi tidak berfungsi maksimal karena telah melarang melakukan perbaikan atas kerusakan yang terjadi .
Penyidik juga telah mengintervensi hak dan kewajiban Para Pihak dalam perjanjian kerja konstruksi . Penyidik juga dinilai terburu buru menjadikan indikasi kerusakan pekerjaan jalan ini sebagai perbuatan pidana Korupsi yang jelas jelas masih menjadi tanggungan penyedia jasa .
Dan terlebih dari itu , belum ada kerugian negara yang terjadi yang dapat dibuktikan ; karena semua kondisi rusak adalah kondisi defect and defisiensi yang sudah sering dan biasa terjadi di semua pekerjaan bangunan sehingga memang masih menjadi kewajiban penyedia untuk memperbaikinya .
10.Tanya: jika demikian apa pendapat sdr terhadap penghentian perbaikan pekerjaan jalan ini ?
Jawab : Jika keadaan ini diperiksa oleh Penilai Ahli , di mana Penilai Ahli berhak menentukan Pihak mana yang paling bertanggung jawab atas kondisi kegagalan bangunan, termasuk menemukan Pihak Lain yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan , selain Pengguna dan Penyedia Jasa , maka hampir pasti Penilai Ahli akan menyatakan bahwa Pihak yang menghentikan pekerjaan perbaikan jalan pada masa pertanggungan adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi , bukan Pihak Pengguna Jasa dan bukan pula Pihak Penyedia jasa , termasuk kerugian negara yang diakibatkan oleh penghentian pekerjaan tersebut menjadi tanggung jawab Penyidik. Karena mestinya jalan ini beroperasi maksimal tanpa kerusakan yang berarti karena tiap kali ada kerusakan pada masa pertanggungan akan diperbaiki oleh Penyedia sesuai tanggung jawab penyedia Jasa , dengan demikian umur rencana konstruksi yang disepakati dalam kontrak dapat tercapai .
11.Tanya: jika demikian , kontrak belum di tutup karena belum di FHO , dan saat ini jalan tersebut sudah dipakai oleh masyarakat , kemudian terjadi kerusakan dan keruntuhan , siapa yang bertanggung jawab ? Bagaimana dengan masa Pertanggungan yang sdr maksudkan sesuai UU Jasa Konstruksi ?
Jawab : karena pekerjaan belum di FHO artinya belum masuk ke yang namanya masa pertanggungan , artinya masih menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa . Namun jika ada Pihak yang melarang untuk memperbaikinya , maka dengan mudah dapat disimpulkan secara sederhana , Pihak Yang Melarang yang wajib bertanggung jawab dan menjadi sebab utama jalan tersebut tidak mencapai umur rencana konstruksi .
12.Tanya : Sdr Ahli juga menyatakan bahwa kasus pekerjaan jalan ini masuk dalam kategori cacat materil dan cacat formil , bisa sdr jelaskan ?
Jawab :
⁃ Dikatakan cacat materiil karena memang tidak ada atau belum ada pelanggaran terhadap UU No. 2 /2017 ttg Jakon karena Penyedia Jasa baru mau memperbaiki kondisi rusak jalan , karena masih dalam masa pertanggungan , sudah dilakukan penyelidikan dan penyidikan . Hal ini jelas kasus posisinya cacat secara materiil . Juga tidak bisa dikatakan telah terjadi kerugian keuangan negara karena para Pihak masih berkewajiban untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi .
⁃ Demikian pula dikatakan cacat formil, karena dalil yang menyatakan Penyedia Jasa berniat atau telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara yang perhitungan kerugian negaranya dengan mekanisme dan tata cara yang tidak sesuai dengan standar keteknikan yang disyaratkan ( SNI ) , dan Penyedia malah dilarang atau dihalangi untuk memperbaiki kerusakan , sehingga pada gilirannya kesimpulan yang diambil pun cacat prosedur. .
⁃ Demikian pula perhitungan kerugian keuangan negara tidak dilakukan sesuai syarat dan ketentuan dalam pasal 86 UU No. 2/2017 yang berbunyi : “dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ps. 85( ayat 1. Huruf b ) di atas terkait dengan kerugian negara dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi , proses pemeriksaan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga negara yang berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.” Dengan demikian perhitungan kerugian negara yang diajukan pada delik Tipikor harus dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang , dalam hal ini BPK RI . Bukan oleh Akuntan Ahli Dari lembaga Pendidikan .
Dari keadaan inilah kami berpendapat bahwa kasus Tipikor dalam pekerjaan jalan Lerahinga di Kab Lembata pada tahun 2023 masuk kategori cacat materiil karena belum ada pelanggaran terhadap UU No 2/2017 dan cacat formil karena prosedur melakukan perhitungan kerugian negara dilakukan tidak dengan mekanisme dan tata cara yang benar sesuai persyaratan prosedur yang benar . (Bersambung…….Part 5).
Simak Lengkap Tanya Jawab PH Ke Ahli PSJK- UCB Kupang pada Perkara Tipikor Jalan Di Lembata : Part 4
