Kupang, obor-nusantara.com-Yayasan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur menyatakan kesiapannya untuk mendampingi para korban sekaligus mengadvokasi terhadap kasus pemukulan yang disertai penyiksaan terhadap 6 orang warga Desa Manusak yang ditangkap saat mengangkut kayu jati ilegal di lokasi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) di hutan Bipolo oleh Polisi Kehutanan (Polhut) dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT pada rabu 19 Februari 2025 malam lalu.
“kami segera memberikan pendampingan kepada pada korban sekaligus mengadvokasi kasus ini agar tidak ada diskriminasi dalam proses penanganan kasus oleh penyidik, karena mereka ini masyarakat kecil yang tidak lain adalah buruh yang butuh makan dan minum untuk keluarga mereka”,ungkap Direktris PIAR NTT Ir. Sarah Lery Mboeik di Kupang pada Senin, 24 Februari 2025.
Menurutnya, dalam kasus penangkapan yang dilakukan oleh Polhut dari BBKSDA kepada warga ini juga terjadi kasus pemukulan yang disertai penganiayaan terhadap para korban saat penangkapan terjadi.
“ini ada dua kasus, pertama adalah mereka ditangkap karena diduga mengambil kayu jari dalam kawasan Hutan milik pemerintah dan yang kedua adalah kasus penganiayaan yang disertai dengan penyiksaan terhadap para korban di lokasi dimana kasus itu terjadi, karena itu penyidik harus jeli melihat kasus ini, jangan sampai kasus penganiayaannya diabaikan oleh pihak Kepolisian”,jelas mantan anggota DPD RI ini.
Dikatakan, sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang advokasi maka akan memberikan pendampingan hukum bagi para korban.
“kami kan mempertanyakan langsung adanya surat Pernyataan tidak melanjutkan atau melaporkan kasus penganiayaan it uke pihak Kepolisian yang di buat di Polres Kupang di Babau, Kabupaten Kupang, ini ada apa sebenarnya sampai muncul surat pernyataan itu”,tegas Lery Mboeik.
PIAR NTT juga menyoroti tidak adanya pertolongan pertama bagi para korban penganiayaan oleh Tim BBKSDA usai membawa korban ke kantor Gakkum NTT.
“mereka tidak diberikan pertolongan medis, dengan kondisi babak belur korban ditinggalkan begitu saja di kantor Gakkum, ini manusia bukan binatang kenapa tidak dibawa ke RS untuk mendapat perawatan medis sebelum ditinggalkan di Kantor Gakkum NTT, ini yang harus ditelusuri dan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan kepada para korban”,ujar Aktivis Perempuan yang kerap mendampingi warga kurang mampu di NTT ini.
Lery Mboeik juga meminta agar para pelaku penganiayaan terhadap warga di hutan Bipolo pada hari rabu 19 Februari 2025 itu mendapat hukuman dari pimpinan dan Lembaga.
“mereka harus diproses oleh Lembaga mereka seenaknya saja mereka menganiaya dan menyiksa korban dengan tidak berprikemanusaiaan dalam kondisi babak belur korban ditinggalkan begitu saja di kantor Gakkum ini pelanggaran HAM yang harus diprose”,tutup Lery Mboyk.